Powered By Blogger

Rabu, 27 Mei 2009

Resume Buku 'MEMBANGUN BANGSA MELALUI PENDIDIKAN'

BAB 1

PENDIDIKAN TAMAN KANAK-KANAK


1. Sejarah Pendidikan Prasekolah

Pendidikan prasekolah ialah pendidikan yang diberikan kepada anak-anak pada usia prasekolah, sebelum memasuki usia sekolah (pendidikan dasar).

Sejarah mencatat, J.A. Commenius (1592-1670) merupakan orang yang pertama yang melontarkan gagasan akan pentingnya didirikan sekolah bagi anak-anak dengan sebutan Infant School. Menurutnya, program pendidikan prasekolah hendaknya dititikberatkan pada segi makanan, istirahat, udara yang bersih dengan tujuan agar anak-anak hidup sehat jasmani dan rohani.

Pada tahun 1916, Robert Owen mendirikan Infant School pertama di New Lanark, Inggris. Tokoh pendidikan lainnya yang berjasa dalam merintis sekolah ialah Jean Frederick dan Samuel Wilderspin sekitar abad ke-19. Pada tahun 1840, ahli pendidikan Jerman, Frobel, memelopori berdirinya Kindergarten yang cukup dikenal di Indonesia hingga sekarang.

Ada sejumlah istilah yang digunakan untuk melukiskan pendidikan prasekolah, diantaranya nursery school, kindergarten, early school education, early childhood education, preschool education, day-nursery, nursery-kindergarten, day-care centre, Frobel School, infant school, play group (Inggris); ecoles maternalles, creche (Perancis); kindergarten (Jerman); yochien, hoikusho (Jepang); laor utit (Thailand); taman bimbingan anak-anak (Malaysia); taman kanak-kanak, taman indriya, taman lare, kebun ank-anak mini, kelompok bermain, kindergarten (Indonesia); dan kibbutz (Israel).

Meski perbedaan istilah antara satu dengan lain negara mungkin karena masalah bahasa, namun demikian pada prinsipnya semua wadah pendidikan prasekolah yang disebutkan di atas mengemban misi yang sama, yakni mengembangkan kemampuan yang dimiliki anak sejak dini yang diharapkan akan memiliki pengaruh positif bagi kelanjutan pendidikan mereka di SD.

2. Tujuan Taman Kanak-kanak (TK)

TK merupakan salah satu bentuk pendidikan prasekolah yang bertujuan membantu pertumbuhan anak sebelum memasuki pendidikan dasar dapat disebut sebagai tujuan Instrumental pendidikan TK. Pendidikan TK juga mengandung tujuan intrinsik yakni membantu perkembangan anak sejak dini agar tumbuh dan berkembang secara wajar dalam aspek-aspek fisik, keterampilan, pengetahuan, sikap, dan prilaku sosialnya. Untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut, disiapkan susunan Program Kegiatan Belajar (PKB) yang menjadi pedoman bagi penyelenggara pendidikan TK. Mutu pendidikan TK diukur dari ketercapaian tujuan di atas yang bermuara pada kesiapan belajar anak dalam memasuki SD, yang meliputi kesiapan fisik, intelektual, emosional, dan sosial. Hal ini menempatkan TK sebagai jambatan antara rumah/keluarga dengan sekolah.

3. Tinjauan Psikologi Sosial Pendidikan TK

Dewasa ini ada kecenderungan yang meluas bahwa praktik pendidikan TK di Indonesia (di tingkat satuan pendidikan) menyimpang dari apa yang seharusnya, dari norma-norma yang telah digariskan dalam kurikulum dan pedoman penyelenggaraannya. Gejala ini merupakan realitas yang perlu kita sadari dan kita angkat sebagai persoalan untuk dicari pemecahannya, bukan sesuatu yang kita negasikan, dianggap seakan-akan tidak pernah ada, atau tidak penting. Dunia pendidikan kita sekarang ini cenderung ambivalen dalam menghadapi persoalan pendidikan TK. Ambivalen dalam pengertian bahwa secara formal kita mengacu kepada pedoman-pedoman normatif yang telah dibuat (kurikulum, pedoman penyelenggaraan TK), sementara kenyataannya kita melakukan sesuatu yang lain. Bila hal demikian tidak coba kita angkat, maka lama kelamaan kita akan percaya bahwa yang benar adalah yang terjadi dalam praktik; (jadi bersikap pragmatis), betapapun hal itu tidak sejalan dengan apa yang secara ideal kita definisikan! Apabila kemudian dalam penelitian terbukti bahwa praktik pendidikan yang berlaku di sekolah-sekolah kita sekarang terbukti “efektif” menyiapkan anak memasuki SD, orang tua senang, anak senang, padahal itu tak sesuai dengan apa yang seharusnya.

4. Studi Hubungan Antara TK dan SD

Studi yang dilakukan oleh Sardja (1981) di Jakarta, menemukan bahwa pengalaman di TK mempengaruhi secara nyata hasil belajar membaca dan matematika murid-murid kelas 1 SD di Jakarta. Ia juga melaporkan, anak tanpa TK di kelas 1 SD lebih sering mengalami kesulitan belajar membaca dibandingkan dengan murid yang melalui TK. Hal ini disebabkan oleh rendahnya tingkat kesiapan belajar membaca (reading readiness) yang dimiliki oleh umumnya murid tanpa TK. Sardja kemudian menyimpulkan bahwa pendidikan TK mempunyai relevansi yang positif dengan proses belajar murid di kelas 1 SD.


BAB 2

PENDIDIKAN ANAK USIA DINI


1. Tumbuhnya Gairah Dalam PAUD

Pendidikan sekarang terasa menemukan momentum baru, kepercayaan diri baru, dan optimisme baru bahwa usaha yang dilakukannya dalam membelajarkan anak akan lebih berhasil. Hal ini dapat dinyatakan dalam kalimat kira-kira sebagai berikut: Sekarang, dengan penuh keyakinan seorang anak dapat dikembangkan dengan cara-cara yang lebih sisitematis, tepat sasaran (apa yang ditangani dan bagaimana menanganinya), dan kemungkinan tingkat keberhasilan tinggi. Idiom-idiom pendidikan yang sebelumnya cenderung low profile pun berubah menjadi lebih percaya diri dan bahkan terkesan over confidence, misalnya lebih banyak digunakan kata pembelajaran alih-alih pendidikan, mencetak alih-alih mengembangakan, semua anak dapat menjadi genius, dll.

2. Mutu Penyelenggaraan PAUD

PAUD adalah pendidikan yang ditujukan bagi anak-anak usia prasekolah dalam rentang usia 0-6 tahun dengan tujuan agar dapat mengembangkan potensi-potensinya sejak dini dan berkembang secara wajar. Secara akademik, PAUD adalah suatu bidang kajian yang mempelajari tentang cara-cara efektif untuk membantu usia dini agar berkembang sesuai denagan tahap-tahap perkembangannya. Mengenai rentang umur anak-anak usia dini, ada beberapa versi. Eva Essa (1996) menyebut sejak lahir sampai usia 8 tahun, sedangkan di Indonesia adalah usia sebelum sekolah dasar yaitu 0-6 tahun.

Wahana-wahana pendidikan anak usia dini beragam antara lain:

· Tempat penitipan anak untuk anak

· Kelompok bermain (play group)

· Taman kanak-kanak(4-6 tahun)

Lilian Katz (1993), salah seorang yang mempunyai nama besar dalam pendidikan prasekolah, mengemukakan bahwa ada empat perspektif yaitu: 1)top-down, 2)bottom-up perspective, 3)the outside-inside perspective, dan 4)the inside perspective.

Dalam perspektif top-down, mutu PAUD diidentifikasi berdasarkan derajat keterpenuhan karakteristik-karakteristik tertentu sebagaimana didefinisikan oleh orang dewasa, misalnya jumlah dan mutu fasilitas bermain dan belajar anak; keadaan dan lokasi gedung; rata-rata luas ruangan per anak; rasio guru/pengasuh anak didik; kualifikasa pendidikan dan mutu guru/staf; hubungan guru/staf-anak; mutu dan sarana kesehatan; fasilitas kerja bagi guru/staf; imbalan yang diterima oleh guru, dan lain-lain.

Perspektif bottom-up bertolak dari asumsi bahwa pada akhirnya program-program PAUD harus diukur dari apa yang dialami dan dirasakan oleh anak.

3. PAUD: “Where Do We Go From Here?”

Apa yang seyogyanya dilakukan selanjutnya agar pendidikan ini (dalam berbagai wadah dan bentuknya) semakin tersebar luas di tengah masyarakat, semakin bermutu dalam proses penyelenggaraan dan hasilnya, dan semakin diterima oleh masyarakat sebagai tuntutan dalam usaha memenuhi hak anak akan pendidikan sejak usia dini dan sekaligus menyiapkan manusia Indonesia yang bermutu? So, where do we go from here? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, berikut ini dikemukakan empat agenda PAUD.

a. Melanjutkan Usaha Sosialisasi

Apa yang telah dilakukan sejauh ini sangat efektif dan terbukti telah memberikan hasil yang positif pula bagi perkembangan PAUD di Indonesia. Namun sosialisasi harus terus dilakukankepada semua lapisan masyarakat dengan menggunakan berbagai macammedia. Keterlibatan media massa, cetak dan elektronik perlu makin ditingkatkan disertai upaya melengkapi dan memperbaiki materi dan topic yang disosialisasikan agar tidak membosankan hanya karena materinya berulang-ulang.

b. Menggiatkan Studi-studi

Untuk mendukung program-program PAUD yang lebih bermutu, relevan dan dapat diakses oleh lebih banyak anak usia dini, maka studi-studi tentang PAUD seharusnya sudah lebih dari sekadar studi yang sahih secara akademik tetapi kurang aplikatif. Studi-studi yang bersifat eksperimental, pengembangan model, atau penelitian tindakan (action research) sangat diperlukan.

c. Mengembangksn Jaringan Informasi

Perlu adanya jaringan informasi hasil penelitian tentang PAUD yang memungkinkan apapun hasil studi tentang PAUD dapat tersebar ke tengah masyarakat.jaringan dimaksud bisa dibangun dalam bentuk jurnal penelitian, forum dialog, bulletin, atau situs-situs di internet.

d. Mengefektifkan Forum PAUD

Forum ini harus difungsikan sebagai sarana dialog antara semua pihak yang peduli dengan PAUD. Forum ini juga seyogyanya mampu menyerap berbagai perspektif dan aspirasi tentang PAUD untuk diolah menjadi acuan dalam pengembangan kebijakan oleh pemerintah (pusat dan daerah) serta menjadi landasan dalam menetapkan rencana tindakan untuk pengembangan PUAD.


BAB 3

PENINGKATAN MUTU SEKOLAH DASAR


1. Karakteristik Siswa SD

Karakteristik siswa SD dapat dibedakan ke dalam karakteristik pribadi dan sosial, dan karakteristik psikologis.

a. Karakteristik Pribadi dan Sosial

· Umur

Secara umum, umur menentukan kesiapan siswa untuk belajar. Siswa yang umurnya lebih tua akan mempunyai kesiapan belajar yang lebih tinggi daripada siswa yang lebih muda.

· Jenis kelamin

Siswa laki-laki dan perempuan mempumyai karakteristik belajar yang relatif berbeda. Dari penelitian-penelitian psikologis diketahui bahwa perempuan dan laki-laki mempunyai tempo dan ritme perkembangan yang relatif berbeda.

· Pengalaman Prasekolah

Pengalaman prasekolah mempengaruhi kemampuan siswa dalam belajar di sekolah. Ada siswa yang sebelumnya melalui pendidikan prasekolah, misalnya taman kanak-kanak (TK) atau bentuk pendidikan prasekolah lainnya seperti kelompok bermain atau Taman Pendidikan Al-Qur’an (TPA). Seperti diketahui, TK merupakan persiapan untuk memasuki SD sehingga mereka akan lebih siap belajar.

· Kemampuan sosial-ekonomi

Latar belakang sosial ekonomi keluarga siswa perlu dipertimbangkan dalam proses belajar dan mengajar, karena hal ini akan mempengaruhi keberhasilan belajarnya di sekolah. Perhatian terutama diberikan kepada anak-anak yang berasal dari lingkungan keluarga yang kurang menguntungkan, misalnya karena keterlantaran, kemiskinan, dan keterpencilan.

b. Karakteristik Psikologis

· Tingkat kecerdasan

Dalam kegiatan belajar sehari-hari, tingkat kecerdasan siswa dapat diamati dari kemampuan belajarnya, yaitu cepat, tepat, dan akurat. Adanya perbedaan tingkat kecerdasan siswa menuntut guru untuk memperhatikan kenyataan ini. Siswa-siswa yang kecepatan belajarnya lambat perlu diperhatikan agar tidak terlalu tertinggal oleh siswa-siswa yang lain, meskipun diakui bahwa pada akhirnya akan selalu terdapat perbedaan pada prestasi belajar siswa.

· Kreativitas

Di sekolah setiap anak mempunyai tingkat kreativitas yang berbeda-beda. Anak yang cerdas biasanya mempunyai kreativitas yang tinggi juga, meskipun ada juga anak yang kecerdasannya biasa-biasa saja tetapi memiliki kretivitas yang tinggi, demikian juga sebaliknya.

· Bakat dan minat

Siswa-siswa SD mempunyai bakat-bakat khusus yang beragam, sebagaimana kelihatan dalam minat belajarnya. Tantangan bagi guru adalah bagaimanakah mengakomodasi perbedaan minat dan bakat siswa-siswa tersebut tanpa mengabaikan usaha untuk membimbing siswa-siswa sehingga menguasai secara merata materi mata pelajaran sesuai dengan tuntutan kurikulum.

· Pengetahuan dasar dan prestasi terdahulu

Hasil belajar terdahulu mendasari proses belajar kemudian. Oleh sebab itu, guru perlu mengetahui dan mempertimbangkan apa yang telah dikuasai oleh siswa-siswa, sebelum mereka diberikan materi yang baru.

· Motivasi belajar

Di sekolah, motivasi belajar siswa dapat diamati dari beberapa indikator. Yaitu, ketekunan dalam belajar, keseringan belajar, komitmennya dalam memenuhi tugas-tugas sekolah, dan frekuensi kehadirannya disekolah.

2. Makanan Tambahan Untuk Anak SD

James Lynch menunjukan kuatnya hubungan antara kekurangan gizi dengan pendidikan. Di kalangan masyarakat yang mengalami kekurangan gizi secara akademik, anak-anak yang kekurangan energi protein yang gawat cenderung lambat masuk sekolah dan mudah putus sekolah. Kekurangan iodium pada anak-anak merupakan faktor resiko yang sangat penting terhadap rendahnya prestasi belajar, IQ, dan kondisi visual-perseptual.

Lynch juga mengungkapkan “kelemahan karena kekurangan protein energi dapat dimediasi melalui pendekatan pendidikan, sosial, dan fisiologis mengikuti rehabilitasi nutrisional”. Gambaran yang dikemukakan Lynch ditemukan pad anak-anak SD di sekolah-sekolah yang tergolong kurang terlayani yang umumnya berada di desa tertinggal.

3. Indikator Kuantitatif dan Kualitatif SD

Pada tingkat SD sebagai penggal pertama pendidikan dasar, angka partisipasi kasar (APK), yaitu rasio antara jumlah seluruh siswa dengan kelompok umur 7-12 tahun dilaporkan telah mencapai 110%, sedangkan angka partisipasi murni yaitu rasio antara jumlah siswa usia antara 7-12 tahun dengan kelompok umur 7-12 tahun sebesar 95%. Angka ini menunjukan bahwa secara nasional wajib belajar tingkat SD hampir tuntas.

Dilihat dari segi mutu, pendidikan tingkat SD di Indonesia umumnya masih bermutu rendah. Bila dilihat dari segi rata-rata NEM (Nilai Ebtanas Murni) sebagai salah satu indikator mutu yang sejauh ini paling tangible dan datanya tersedia, hanya sekitar 10% SD yang tergolong bermutu baik. Masih rendahnya rata-rata SD akan berpengaruh pada mutu pendidikan di jenjang SMP dan selanjutnya.


BAB 4

PENDIDIKAN AGAMA DAN BUDI PEKERTI


1. Pembinaan Imtaq di Sekolah

Keimanan dan ketaqwaan merupakan salah satu ciri manusia Indonesia seutuhnya yang hendak dicapai melalui sistem pendidikan nasional sebagaimana dinyatakan dalam GBHN dan UU No. 20/2003 tentang sistem pendidikan nasional. Dalam UU No.20/2003 pasal 3 dikemukakan:

Pendidikan Nasional bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab.

Dalam tujuan pendidikan nasional tersebut, dimensi Imtaqmerupakan bagian yang terpadu dari tujuan pendidikan nasional. Hal ini mengimplikasikan bahwa pembinaan Imtaq bukan hanyatugas dari bidang kegiatan atau bidang kajian tertentu secara terpisah, melainkan tugas pendidikan secara keseleruhan sebagai suatu sistem. Artinya, sistem pendidikan nasional dan seluruh upaya pendidikan sebagai suatu sistem yang terpadu harus secara sistematis diarahkan untuk menghasilkan manusia yang utuh, yang salah satu cirinya adalah manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa.

2. Mutu Pendidikan pada Perguruan Agama Islam

Perguruan Agama Islam tingkat pendidikan dasar dan menengah yaitu Madrasah Ibtidaiyah (MI), Madrasah Tsanawiyah (MTs), Madrasah Aliyah (MA), adalah lembaga pendidikan umum yang berciri khas Islam.

Pada madrasah paling tidak ada dua kepentingan bertemu, yaitu hasrat kuat masyarakat Islam untuk ikut berperan serta dalam pendidikan dan motivasi keagamaan yang menyertainya. Kuatnya keterikatan emosional masyarakat dengan madrasah mempunyai implikasi terhadap setiap usaha reformasi lembaga pendidikan ini.

Peningkatan mutu pendidikan di madrasah pada dasarnya sama dengan apa yang berlaku di sekolah-sekolah lainnya di jenjang pendidikan dasar dan menengah. Oleh sebab itu, pendekatan untuk meningkatkan mutu tidak banyak berbeda. Kalau kita menggunakan pendekatan Input-Proses-Output, akan tampak bahwa baik madrasah maupun non-madrasah sama-sama menghadapi persoalan pada ketiganya. Dalam upaya peningkatan mutu, memang ada hal-hal yang tipikal madrasah. Misalnya, upaya peningkatan mutu madrasah melalui langkah-langkah reformasi akan dan harus menggunakan pendekatan yang hati-hati karena menyangkut suatu populasi sekolah yang mempunyai akar kuat dalam masyarakat pemeluk Islam Indonesia.

3. Pesantren dan Perguruan Tinggi

Lama kita mengalami bahwa pesantren dan perguruan tinggi ibarat dua dunia yang terpisah. Masing-masing mengembangkan misinya sendiri dan jarang bertegur sapa. Yang satu bertujuan menghasilkan ulama atau orang yang menguasai secara mendalam agama, dan yang lain menghasilkan sarjana dalam berbagai disiplin ilmu. Untuk menjadi ulama, ustadz, atau kyai, jalurnya adalah pesantren. Untuk menjadi sarjana, ilmuwan, peneliti, jalurnya adalah perguruan tinggi.


BAB 5

RELEVANSI PEMBAHARUAN KURIKULUM PENDIDIKAN


1. Isu-isu dalam Pembaharuan Kurikulum

Di Indonesia, dalam hampir 30 tahun terakhirtelah dilakukan beberapa kali pembaharuan kurikulum sekolah, yaitu tahun 1975, 1984, 1994, dan tahun 2004 untuk Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK). Dengan digunakanya kurikulum baru, maka guru, siswa, orang tua, beserta sarana pendidikan yang perlu diperbaharui atau ditambah, buku-buku teks harus diganti. Tidak jarang pula terjadi kejutan pada masyarakat. Itulah harga yang mesti dibayar untuk suatu perubahan yang berskala besar dan luas sebagaimana dilakukan melalui pembaharuan kurikulum. Harga yang harus dibayar dan dampak psikologis yang timbul tersebut bahkan lebih besar dan lebih dahsyat daripada keuntungan yang diperolehnya berupa perbaikan proses pendidikan di tingkat sekolah yang ditunjukkan oleh prestasi belajar peserta didik.

Apa yang disebut dengan pembaharuan kurikulum selama ini hampir dapat dipastikan berarti merestrukturasikan kurikulum yang ada untuk diganti dengan yang baru, dengan perubahan yang sedemikian rupa sehingga struktur, topic-topik, ruang lingkup materi, dan bahkan metode pengajarannya ikut diubah. Perubahan yang sifatnya inkremental yang berbasis sekolah dan kreativitas guru hampir tidak dikenal atau kurang mendapatkan tempat dalam tiga fase perjalanan kurikulum nasional.

Benar bahwa kurikulum harus selalu terbuka terhadap perubahan, yang artinya kurikulum harus terus dievaluasi dan dipantau selama penerapannya. Bahkan begitu suatu kurikulum mulai diluncurkan, penilaian dan pemantauan harus mulai dilaksanakan dan dilakukan secara terus menerus.

Dari pengalaman selama ini terungkap bahwa letak kelemahan kurikulum di Indonesia terutama pada bagaimana kurikulum tersebut diimplementasikan secara sungguh-sungguh sehingga memberikan nilai tambah yang nyata bagi peningkatan mutu pendidikan. Kesulitannya yang berkaitan dengan kekurangsungguhan kita dalam melaksanakan kurikulum timbul akibat tidak tersedianya sarana penunjang yang memadai untuk melaksanakan kurikulum.

2. Trend Pembaharuan Kurikulum Saat Ini

Sejak tahun 2002, dunia pendidikan ditandai dengan berbagai perubahan yang dating bertubi-tubi, serempak, dan dengan frekuensi yang sangat tinggi. Belum tuntas sosialisasi perubahan yang satu, datang perubahan yang lain, tentu dengan segala keuntungan dan resikonya bagi dunia pendidikan umumnya dan sekolah khusunya.

Beberapa inovasi yang mendominasi panggug pendidikan selama tahun 2002 antara lain adalah Pendidikan Berbasis Luas (PBL) dengan life skills-nya, Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK), Manajemen Berbasis Sekolah (MBS), Ujian Akhir Nasional pengganti EBTANAS, pembentukan Dewan Sekolah dan Dewan Pendidikan Kabupaten/Kota.

3. Menyongsong Penerapan KBK

Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) atau Competence-Based Curriculum (CBC) adalah suatu diantara banyak nama yang menggunakan kata “berbasis” yang sedang digandrungi di Indonesia dewasa ini. Istilah atau label yang sama digunakan pada reformasi atau inovasi pendidikan lainnya, baik pada tataran makro maupun mikro, diantaranya:

· Manajemen Berbasis Sekolah (School Based Management)

· Manajemen Pengembangan Mutu Berbasis Sekolah (School Based Quality Improvement)

· Kurikulum Berbasis Local (Local Based Curriculum)

· Evaluasi Berbasis Sekolah (School Based Evaluation)

· Pendidikan Berbasis Masyarakat (Community Based Education)

· Pendidikan Berbasis Luas (Broad Based Education)

· Pembiayaan Pendidikan Berbasis Masyarakat (School Based Community Financing)

· Belajar Berbasis Internet (Internet Based Learning) atau dikenal juga dengan Electronic Learning (e-learning)

4. Implementasi Kecakapan Hidup

Dalam pengertian yang dikemukakan oleh Depdiknas, pendidikan keterampilan/kecakapan hidup (life skills) merupakan esensi dari BBE (Broad Based Education). Dalam hal ini, terjadi perluasan pengertian pendidikan kecakapan hidup dari terbatas keterampilan motorik menjadi keterampilan yang meliputi berbagai bidang termasuk keterampilan personal, logika, akademik, sosial, dan vokasional/teknis. Akibatnya, terjadi kekurangjelasan batas-batas antara yang menjadi garapan pendidikan akademik dan mana yang pendidikan kecakapan hidup. Sambil memulai mengimplementasikan kebijakan ini, secara konseptual BBE dan life skills education itu perlu dikaji ulang. Berikut definisi yang diajukan oleh Tim BBE Depdiknas: kecakapan hidup (life skills) adalah kecakapan yang dimiliki oleh seseorang untuk mau dan berani menghadapi problema hidup dan kehidupan secara wajar tanpa merasa tertekan, kemudian secara proaktif dan kreatif mencari serta menemukan solusi sehingga akhirnya mampu mengatasinya. Muara dari tujuan pendidikan justru terletak disitu, yaitu menyiapkan peserta didik untuk menjalani kehidupannya di masa kini dan masa depan, yang untuk itu mereka dituntut untuk memiliki berbagai kemampuan, keterampilan, dan sikap-sikap yang diperlukan.

Kecakapan hidup lebih ditekankan pada keterampilan vokasional dan/atau pra-vokasional yang membekali peserta didik belajar dengan keterampilan teknis untuk melakukan atau membuat sesuatu. Jadi titik beratnya pada apa yang disebut pada kecakapan hidup yang bersifat khusus (specific life skills). Sementara itu domain kecakapan hidup lainnya yang bersifat umum tetap inheren sebagai tugas dari pendidikan secara umum yang selama ini berjalan dengan mengacu pada kompetensi-kompetensi dasar yang telah dirumuskan, tanpa harus secara resmi menjadi agenda program ini. Bahwa kemudian jenis-jenis kecakapan hidup itu di sisipkan dalam proses pembelajaran di sekolah, itu memang telah merupakan keharusan dari pendidikan manapun yang hendak meningkatkan relevansinya dengan kebutuhan siswa dan masyarakatnya. Bahwa kemudian diperlukan sosialisasi untuk mendorong para guru di sekolah dan pamong belajar di luar sekolah agar mengintegrasikan dan memberikan muatan kecakapan hidup dalam materi pembelajaran yang diberikannya, itupun memang seharusnya dilakukan. Bahkan dari dulupun sudah demikian, dan yang diperlukan sekarang mengingatkan dan menggiatkannya kembali.


BAB 6

PROFESI BIMBINGAN DAN KONSELING


1. Bimbingan dan Konseling

Yang dimaksud dengan bimbingan adalah proses bantuan yang sistematis yang diberikan oleh konselor/pembimbing kepada klien agar klien dapat:

1) memahami dirinya,

2) mengarahkan dirinya,

3) memecahkan masalah-masalah yang dihadapi,

4) menyesuaikan diri dengan lingkungannya (keluarga, sekolah, masyarakat),

5) mengambil manfaat dari peluang-peluang yang dimilikinyadalam rangka mengembangkan diri sesuai dengan potensi-potensinya, sehingga berguna bagi dirinya dan masyarakat.

Konseling (disebut juga penyuluhan) hubungan tatap muka antara konselor dengan klien dalam rangka membantu klien agar dapat mencapai tujuan-tujuan di atas. Dalam hal ini, konseling merupakan inti kegiatan dan salah satu teknik utama dalam bimbingan. Maka dapat dikatakan bahwa semua konselling merupakan kegiatan bimbingan, tetapi tidak semua kegiatan bimbingan termasuk kedalam konseling.

Dalam bimbingan dan konseling terdapat tiga unsur pokok yang terlihat, yaitu: 1) konselor, 2) klien, dan 3) situasi bantuan (yaitu hubungan yang berlangsung antara konselor dengan klien). Ketiga unsur pokok tersebut sangat menentukan keberhasilan bantuan. Meskipun demikian, diantara ketiganya, kemampuan konselor adalah yang paling menentukan. Konselor perlu dibekali keterampilan-keterampilan dan sifat-sifat kepribadian yang menunjang kemampuannya mencapai tujuan bimbingan, misalnya:

a) mengetahui dan dapat menerapkan teknik-teknik bimbingan,

b) keterampilan-keterampilan sosial, yaitu kemampuan membbina hubungan dengan klien (empati, lemah lembut, hangat, penuh pengertian, dan penghargaan pada klien),

c) kelincahan dalam mengumppulkan data dan informasi yang diperlukan, untuk kemudian menafsirkannya,

d) kemampuan menafsirkan isyarat yang ditunjukan oleh klien dalam proses konseling,

e) rendah hati, tetapi mempunyai kepercayaan pada diri sendiri,

f) jujur dan murni, tidak berpura-pura terhadap dirinya sendiridan klien, dan mempunyaiintegritas diri.

Sifat-sifat dan keterampilan-keterampilan tersebut dapat diperoleh melalui belajar (pendidikan/pelatihan) dan pengalaman.

a. Pentingnya Bimbingan dan Konseling

Ada beberapa alasan mengenai pentingnya layanan bimbingan dan konseling di sekolah.

Pertama, perbedaan antar individu. Perbedaannya menyangkut: kapasitas intelektual, keterampilan, motivasi, persepsi, sikap, kemampuan, minat, minat, dll.

Kedua, siswa mengalami masalah-masalah dalam pendidikan. Masalah-masalah tersebut bisa masalah pribadi, hubungan dengan orang lain (guru, teman), masalah kesulitan belajar, dll.dalam penyelasaiannya, seringkali tidak bisa dilakukan sendiri, melainkan memerlukan bantuan orang lain untuk berdialog. Orang lain maksudnya adalah orang yang mau mengerti diri siswa dan mengetahui cara penyelesaiannya. Dalam setting sekolah, konselor adalah orang yang dituntut untuk dapat memberikan banttuan tersebut.

Ketiga, masalah belajar. Ada berbagai masalah yang mereka hadapi, bersumber dari stress karena tugas-tugas, ketidakmampuan mengerjakan tugas, keinginan untuk bekerja sebaik-baiknya tetapi tidak mampu, ingat kepada keluarga (homesick), persaingan dengan teman, kemampuan dasar intelektual yang kurang, motivasi belajar yang lemah, dll. Masalah-masalah tersebut tidak selalu bisa di selesaikan dalam setting belajar mengajar di kelas, melainkan memerlukan pelayanan secara khusus oleh konselor melalui konsultasi pribadi.

b. Ruang Lingkup Layanan Bimbingan

Layanan bimbingan meliputi tujuh jenis, yaitu:

1) pengumpulan data tentang siswa

2) Orientasi dan informasi

3) Penempatan dan penyaluran

4) Bantuan untuk mengatasi kesulitan belajar

5) Konseling

6) Hubungan dengan masyarakat

7) Evaluasi dan tindak lanjut

c. Pendekatan dalam Bimbingan dan Konseling

Dalam membina hubungan dengan klien, konselor dapat menggunakan salah satu di antara tiga pendekatan utama dalam konseling, yaitu:

a. Pendekatan yang berpusat kepada konselor (counselor centered counseling), di sebut juga “directive counseling”. Dalam pendeketan ini konselor lebih banyak aktif dari pada klien. Konselor bertindak sebagai pengarah bagi klien.

b. Pendekatan yang berpusat kepada klien (client centered counseling), disebut juga ”non directive counseling”. Dalam pendekatan ini, klien lebih banyak aktif, dan konselor berperan sebagai fasilitator (yang mempermudah proses konseling) dan reflector (cermin) bagi klien.

c. Pendekatan elektif (campuran), konselor mengkombinasikan pendekatan pertama dan kedua tergantung kepada situasi konseling yang sedang berlangsung.

Pendekatan manakah yang akan digunakan oleh konselor, sangat tergantung pada kepada beberapa faktor:

a) Sifat klien

b) Derajat keeratan hubungan antara konselor dengan klien

c) Sifat konselor.

d. Unsur-Unsur Inti dalam Konseling

Konseling memerlukan elemen-elemen yang menunjang sehingga proses konseling dapat mencapai sasarannya,

1. Rapport

Rapport adalah situasi atau suasana di mana relasi konselor dan klen dilipoti saling pengertian, kebebasan klien untuk menyatakan perasaannya, perasaan dihargai dan diterima oleh konselor. Keadaan ini tercipta atas prakarsa konselor dengan menerapkan keterampilan-keterampilan khusus se[erti attending, responding, dll.

2. Penghormatan terhadap individu

Penting sekali dalamkonseling bahwa konselor mengakui Ani sebagai Ani, sebagai individuyang memiliki marrtabat luhurdan harga diri. Prasangka dan sikap pura-pura konselor harus dihilangkan. Konseling dibangun atas dasar kejujuran, bukan kepura-puraan.

3. Penerimaan

Adalah penting bahwa konselor menerima klien apa adanya. Ini berarti bahwa penerimaan konselor terhadap klien tidak kondisional, tidak ada pamrih tertentu.

4. Empati

Empati tampil dalam kemampuan dan hasrat kuat konselor untuk merasakan apa yang klien rasakan., seakan-akan koselor sendiri mengalami masalah yang dialami oleh klien. Empati bukan merasa kasihan, karena jika konselor menunjukan rasa kasihan kepada klien, justru akan membuat klien merasa dikasihani dan selalu bergantung pada belas kasihan konselor. Rasa kasihan tidak konstruktif bagi pendewasaa diri klien.

5. Kerahasiaan

Klien perllu diyakinkan bahwa apa yang dibicarakan dan diungkapkan klien dalam proses konseling tidak akan disampaikan pada orang lain tanpa izin dan sepengathuan klien. Klien harus dijamin bahwa apa yang ia ungkapkan pada konselor adalah rahasia berdua.

e. Tahap-Tahap Konseling

Konseling meliputi tiga fase pokok, yaitu:

1. Pembentukan relasi/hubungan. Fase ini bertujuan untuk menciptakan hubungan yang baik antara konselor dengan kliensehingga proses konseling akan berjalan lancar. Dalam pembentukan fase relasi ini, konselor melakukan lengkah-langkah sebagai berikut:

a. Persiapan untuk memasuki wawancara, termasuk pengumpulan informasi awal tentang klien ole konselor, penyiapan tempat yang memadai, dll.

b. Klarifikasi, yaitu klien menyatakan masalah dan alasan bahwa ia memerlukan wawancara dengan kkonselor. Jika klien datang kepada konselor atas permintaan konselor atau pihak ketiga, maka konselorlah yang menjelaskan perlunya wawancara tersebut.

c. Mengatur waktu dan tempat wawancara selanjutnya, misalnya ditetapkan seminggu sekali di ruangan konseling.

d. Pembentukan hubungan yang baik antara konselor dengan klien.

2. Proses konseling. Dalam fase ini konseling memasuki inti persoalan yang sesungguhnya. Adapun langkah-langkahnya ialah:

a. Eksplorasi, yaitu klien bersama konselor mencoba menjajaki isu-isu dan dimensi-dimensi permasalahan yang dihadapi oleh klien. Kedua pihak menggambarkan dan mengkaji mengapa suatu masalah timbul baserta percabangannya.

b. Konsolidasi, pada tahap ini konselor dan klien bersama-samamencoba mencari alternatif pemecahan atas masalah. Alternatif pemecahan biasanya tidak tunggal, melainkan terdiri atas sejumlah alternative. Dengan bantuan konselor langkah manakah yang akan ia tempuh.

c. Perencanaan tindakan, yaitu menetapkan langkah-langkahoperasional dan spesifik yang akan dilakukan oleh klien.

3. Penutupan, yaitu berupa pengakhiran hubungan konseling atas kehendak klien. Meskipun konselor bisa mengamati apakah telah terjadi perubahan perilaku pada klien, pada akhirnya klien sendirilah yang merasakan sejauh manakah dirinya telah mengalami kemajuan dari hasil hubungan konseling.

2. Profesi dan Profesionalisasi Konseling

Secara sederhana profesi yang dimaksud adalah suatu jabatan atau pekerjaan yang menuntut keahlian dari pada anggotanya. Keahlian diperoleh melalui apa yang disebut profesionalisasi, yang dilakukan baik sebelum seseorang menjaliani profesi itu (pendidikan/latihan pra-jabatan) maupun telah menjalani suatu profesi ( in sevice training). Profesional menunjukan pada dua hal. pertama, orang yang menyandang suatu profesi. Kedua, penampilan seseorang dalam melakukan pekerjaannya yang sesuai dengan profesinya.

Profesionalisasi menunjuk pada proses peningkatan kemampuan para anggota profesi dalam mencapai kriteria yang standar dalam penampilannya sebagai anggota suatu profesi. Profesionalisasi pada dasarnya merupakan serangkaian proses pengembangan professional, baik dilakukan melalui pendidikan/latihan pra-jabatan maupun dalam jabatan. Oleh karena itu, profesionalisasi bersifat life long dan never ending, secepat seseorang telah menyatakan dirinya sebagai warga suatu profesi.

3. Profesi Konseling dan Profesi Kependidikan

Mengenai tujuan tujuan konseling dan tujuan pendidikan dapat dikatakan bahwa sebagai komponen dalam suatu sistem persekolahan, konseling tidak tidak mempunyai tujuan sendiri yang terpisah dari tujuan pendidikan pada umumnya. Dalam suatu sistem dan konteks persekolahan, konseling merupakan “auxiliary to teaching with no goals in its own right ”.

Konseling di Indonesia merupakan suatu profesi yang sedang berkembang, Dibandingkan dengan profesi lain. Profesi konseling belum mencapai tingkat kemantapan yang selayaknya ditampilkan oleh suatu profesi. Sumber kesulitan untuk mengembangkan profesi ini adalah justru pada perilaku dan komitmen para anggota profesi ini yang masih lemah, dan bukan pada apa yang seharusnya ditampilkan oleh konselor dalam melakukan tugasnya.

4. Konseling Lintas Budaya

Konseling lintas budaya adalah konseling yang melibatkan konselor dan klien yang berasal dari latar belakang budaya yang berbeda dan karena itu proses konseling sangat rawan oleh terjadinya bias-bias budaya pada pihak konselor yang mengakibatkan konseling tidak berjalan efektif. Agar efektif, konselor dituntut untuk memiliki kepekaan budaya dan melepaskan diri dari bias-bias budaya, dapat mengapresiasi diversitas budaya, serta menguasai keterampilan yang responsif secara kultular.

Konseling berusaha menggunakan prinsp-prinsip keilmuannya untuk membantu individu atau kelompok individu. Perhatian terhadap hal-hal yang bersifat lintas budaya merupakan keniscayaan dalam masyarakat multikultural manapun dan di tengah interaksi antar budaya yang semakin ekstensif. Namun dalam bidang psikologi dan konseling, kajian lintas budaya merupakan bidang yang relatif muda yang berkembang mulai tahun 1970-an untuk psikologi dan 1980-an untuk konseling.


BAB 7

MEMBANGUN TRADISI BERPIKIR ILMIAH

DI PERGURUAN TINGGI


1. Memahami Revolusi Ilmiah Menurut Thomas S. Kuhn

Salah satu tesis penting Thomas S. Kuhn dalam bukunya The Structure of Scientific Revolutions (1970) adalah bahwa dalam setiap revolusi keilmuan senantiasa mengubah perspektif historis komunitas ilmuwan pada masanya. Pada dasarnya, perubahan perspektif itu disebabkan oleh perubahan paradigma yang digunakan oleh para ilmuwan dalam menerjemahkan realitas masalah yang dihadapinya.

a. Konsep Paradigma

Dalam keseluruhan tesis Kuhn tentang revolusi keilmuan, konsep paradigma merupakan hal yang sangat mendasar. Tetapi, Kuhn tidak mengajukan definisi khusus mengenai arti paradigma ini. Masterman (1970) mengidentifikasikan tiga tipe konsep paradigma yang digunakan oleh Kuhn dalam bukunya, yaitu paradigma metafisik, paradigma sosiologi, dan paradigma konstruk.

· Paradigma metafisik dalam pengertian Kuhn menunjuk pada:

a) sesuatu yang menjadi pusat perhatian suatu komunitas ilmuwan tertentu.

b) komunitas ilmuwan tertentu yang memusatkan perhatiannya pada usaha menemukan sesuatu yang ada, yang menjadi pusat perhatian mereka.

· Paradigma sosiologi yang digunakan oleh Kuhn mengacu kepada

a) kebiasaan nyata,

b) keputusan-keputusan hukum yang diterima,

c) hasil-hasil nyata perkembangan ilmu pengetahuan,

d) hasil penemuan ilmu pengetahuan yang diterima secara umum.

· Paradigma konstruk adalah konsep paling sempit di antara ketiga tipe paradigma yang dipakai Kuhn. Misalnya pembangunan suatu rektor nuklir memainkan peranan sebagai paradigma dalam ilmu nuklir.

Dengan mensintesiskan pengertian paradigma yang dikemukakan oleh Kuhn, Masterman dan Frederich Ritzer (1985) merumuskan istilah ini secara lebih jelas dan terperinci, yaitu pandangan yang mendasar para ilmuwan tentang apa yang menjadi pokok persoalan yang semestinya dipelajari oleh suatu cabang ilmu pengetahuan. Di sini pengertian pokok persoalan menunjuk pada apa saja yang tercakup dalam suatu disiplin ilmu menurut versi ilmuwan dalam komunitas tertentu.

Dalam ilmu-ilmu sosial, rumusan paradigma Masterman (1970) dan Ritzer (1980) tampaknya lebih sesuai dibandingkan dengan rumusan Kuhn. Ritzer menunjuk tiga faktor yang menyebabkan ragamnya paradigma yang digunakan para ilmuwan.

1) dari semula, landasan filosofis yang mereka gunakan memang sudah berbeda.

2) perbedaan tersebut merupakan konsekuensi dari pandangan yang berbeda, sehingga teori-teori dan interpretasi atas realitas yang mereka angkat akan berbeda pula.

3) metode yang mereka gunakan untuk menghampiri persoalan, yakni substansi ilmu memang berbeda.

b. Model Perkembangan Ilmu

Berdasarkan studi historisnya, Kuhn menyanggah pendapat yang menyatakan bahwa perkembangan ilmu terjadi sebagai hasil dari akumulasi berbagai penemuan para ilmuwan. Dalam pandangan Kuhn, akumulasi memang memegang peranan penting dalam perkembangan ilmu pengetahuan, berkat makin kaya dan matangnya paradigma yang ada. Akan tetapi, revolusilah yang membawa kemajuan besar bagi ilmu pengetahuan. Revolusi yang dimaksud tidak lain adalah revolusi paradigma.

Lahirnya suatu paradigma bisa terjadi karena tantangan yang ditimbulkan oleh para ilmuwan sendiri dari ikhtiar-ikhtiar keilmuannya, atau dimulai oleh fenomena-fenomena yang muncul tiba-tiba dalam melakukan jawaban. Kuhn menunjuk bahwa, revolusi pardigma mengubah perspektif para ilmuwan tentang alam dan realitas yang dihadapinya.

Hanya paradigma yang mampu membuktikan keampuhannya dalam menjelaskan, menjawab dan memecahkan persoalan-persoalan yang ada itulah yang akan bertahan dan diterima luas oleh komunitas ilmuwan/masyarakat yang menggunakannya.

2. Kebenaran Ilmiah dan Metode Ilmiah

a. Kebenaran Ilmiah Sebagai Masalah Filsafat

Ilmu memiliki cirri-ciri dan standar-standar tertentu sebagai hasil konsensus para ilmuwan. Ada semacam “criteria of demarcation” antara pengetahuan yang berstatus ilmu dengan pengetahuan yang semata-mata hanya pengetahuan seperti akal sehat.

kriteria demakarsi itu antara lain:

1) obyektivitas

2) ada pokok persoalan tertentu yang menjadi obyek studi

3)memiliki sistematika content dan area of studies

4) terbuka, dalam arti dapat dijelaskan secara ilmiah

5) ada metodologi atau disciplined inqury

6) memiliki terminologi-terminologi yang standar.

b. Dari Kebenaran Ilmiah ke Metode Ilmiah

Kecenderungan untuk memutlakkan metode ilmiah timbul dari anggapan tentang pengertian ilmu, yakni semata-mata seperti apa yang dikerjakan para “hard scientists”. Kelompok ilmuwan ini lazimnya mempercayakan ikhtiar-ikhtiar ilmiahnya pada metode eksperimental kuantitatif. Mereka kemudian menetapkan seperangkat tahapan prosedural yang ketat untuk apa yang diklaimnya sebagai “the road toward scientific truth” melalui “scientific methods”. Para mahasiswa yang mengambil mata kuliah dasar metode riset sejak semula diberi pengertian sempit mengenai metode ilmiah ini. Seperti yang dikemukakan oleh Mill dan Dewey, metode ilmiah yang dimaksud meliputi langkah-langkah sebagai berikut: (1) merumuskan masalah, (2) mengajukan hipotesis, (3) mengumpulkan data, (4) menguji hipotesis, dan (5) menyimpulkan. Kalau tidak mengikuti langkah-langkah ini, suatu penelitian tidak bisa disebut ilmiah dan hasilnya tidak akan sampai pada kebenaran ilmiah. Akibatnya, cara-cara kreatif, imajinatif, heurmenetik, kualitatif naturalistik, spekulatif, terkesampingkan dari peraturan diskusi perihal metode ilmiah karena dicap sebagai anti intelektualistik, anarkis, dan bisa merusak wibawa ilmiah

Berdasarkan rumusan Mill inilah, ilmu sosial mengadopsi metode-metode penelitian ilmiah dari ilmu-ilmu kealaman yang memang dianggap ampuh untuk mempelajari fenomena-fenomena dan realitas alam.

3. Paradigma Penelitian: Positivistik Dan Pasca Positivistik

Miles dan Huberman (1984) mengemukakan, lompatan paradigma dari yang berorientasi kuantitatif kea rah yang lebih kualitatif tidak hanya terjadi dalam pendidikan, melainkan dalam bidang-bidang ilmu lain seperti sosiologi, psikologi, administrasi Negara, hingga perencanaan perkotaan. Sedemikian cepatnya perubahan ini terjadi, sehingga mereka menyebutnya “blitzkrieg ethnography”, mengambil istilah yang lazim digunakanpara ahli antropologi.

Akan tetapi perubahan yang terjadi bukan hanya tingkat metode (kuantitatif ke kualitatif), melainkan pada tingkat paradigma. Pergeseran paradigma dalam riset kependidikan mulai tahun 1970-an terjadi dari paradigma positivistik ke arah paradigma pasca-positivistik yang disebut juga paradigma naturalistik (Lincoln & Guba, 1985). Kedua paradigma ini memiliki asumsi-asumsi yang berlainan mengenai hakikat kebenaran, realitas dunia dan cara menghampiri kebenaran ilmiah. Secara singkat dapat dikatakan bahwa paradigma positivistik berpegang pada asumsi bahwa status ilmiah suatu penelitian tergantung kemampuan peneliti dalam mengambil jarak dari obyek yang ditelitinya, jadi “obyektif”. Di pihak lain, paradigma pasca-positivistik atau naturalistik memiliki asumsi-asumsi yang berbeda dengan paradigma positivistik. Dianggap bahwa obyektivitas yang sesungguhnya itu tidak mungkin dicapai, karena manusia sebagai pelaku riset adalah subyek yang memiliki kepentingan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar