Powered By Blogger

Sabtu, 23 Mei 2009

Pendidikan Tinggi

Artikel 1


MEMBEDAH INDUSTRI PENDIDIKAN TINGGI

Dalam bukunya, The Outliers, Malcolm Gladwell membeberkan kisah orang-orang sukses dan gagal. Beberapa di antaranya Bill Gates, Bill Joy (Sun Microsystem), dan Steve Job (Apple Computer).Salah satu faktor pendukung keberhasilan seseorang adalah kesempatan. Banyak dari orang sukses (misalnya Bill Gates, Bill Joy, and Paul Allen) dalam The Outliers berasal dari kelas sosio ekonomi menengah dan atas sehingga bisa mengakses pendidikan bermutu.

Sebaliknya, saat kesempatan itu ditiadakan, seorang dengan IQ 195, Chris Langan (bandingkan: IQ Albert Einstein 150) harus putus kuliah karena ketiadaan biaya dan berakhir sebagai buruh tani dengan berbagai kepahitan. Di antara kedua titik ini, ada kisah Steve Jobs dari keluarga sederhana yang berhasil mengubah hidupnya dan dunia melalui perusahaan Apple Computer. Meski tidak berasal dari keluarga kaya, Steve Jobs hidup di Silicon Valley dan bergaul dengan para insinyur Hewlett Packard. Pesan dari kisah-kisah ini, kesempatan merupakan pintu awal menuju keberhasilan.

Salah satu fungsi pendidikan adalah memberi kesempatan itu untuk mengurangi jumlah orang yang berakhir seperti Chris Langan dan Steve Jobs. Jika The Outliers ditulis dalam versi Indonesia, pasti ada banyak kisah Chris Langan dan Steve Jobs ala Indonesia yang bisa menjadi latar belakang pembuatan kebijakan pendidikan atau keputusan negara maupun institusi. Kebijakan yang masih menuai kontroversi adalah UU No 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan (BHP). Ketika sektor-sektor yang memenuhi kepentingan publik dan tidak diharapkan memberi keuntungan material, pendidikan menjadi tanggung jawab negara. Pada era ini, ada pergeseran cara pandang dan praktik terhadap sektor-sektor itu.


Liberalisasi pendidikan
Pasar sebagai salah satu pranata civil society dikendalikan pelaku bisnis. Saat pelaku bisnis menjelajahi dan menguasai sumber-sumber daya dalam pasar, lahan-lahan yang secara historis merupakan usaha untuk kemashalatan orang banyak sehingga diselenggarakan oleh negara seperti pendidikan dan kesehatan, kini mulai menjadi garapan pelaku bisnis.Salah satu dampak positif UU BHP adalah transformasi di PTN. Jerat birokrasi yang berwujud kurang efisien mulai bisa diperbaiki. Sementara itu kalangan yang masih memercayai nilai-nilai sosial demokratis mengkhawatirkan terjadinya liberalisasi pendidikan.

Meski Pasal 4 UU BHP sudah mengatur bahwa badan hukum pendidikan bersifat nirlaba, fenomena liberalisasi pendidikan tinggi sudah amat terasa. Berbagai jalur yang disediakan PTN—mulai dari jalur Seleksi Nasional Mahasiswa Perguruan Tinggi Negeri (SNM-PTN) hingga jalur khusus dan mandiri—memberi berbagai paket dengan prosentase masing-masing.Yang dikeluhkan adalah alokasi penerimaan dengan biaya minimal kian makin dikurangi prosentasenya, Sedangkan alokasi penerimaan melalui jalur khusus atau mandiri, bertambah. Praktik ini dilakukan PTN guna menambah jumlah pendapatan sehingga bisa memperbaiki mutu.

Formula alokasi disusun tiap PTN, dengan melihat kepentingan institusional PTN itu, dengan standar mutu yang ingin dicapai dan biaya yang harus ditanggung. Padahal alokasi jalur subsidi dan jalur khusus ini tidak sesuai dengan prosentase penduduk miskin di Indonesia. Akibatnya, kesempatan bagi anak-anak dari keluarga miskin untuk meniti jalur keberhasilan seperti Steve Jobs makin tertutup.Para penganut nilai-nilai sosial demokratis berpendapat UU BHP tidak berpihak kepada rakyat, bahkan cenderung melindungi yang kuat. Dikhawatirkan bertambahnya jumlah orang macam Chris Langan dan Lintang (dalam Laskar Pelangi) yang berpotensi tinggi tetapi tidak mendapat kesempatan pendidikan, akan menjadi enerji negatif di masyarakat.

Solusi Sementara perdebatan tentang subsidi negara untuk PTN atau PTS masih berlangsung dan mungkin tidak akan pernah reda, kisah-kisah Chris Langan dan Lintang akan terus terjadi di seluruh Nusantara. Dana subsidi pemerintah memang sudah dikucurkan ke berbagai PTN dan PTS, di antaranya melalui program hibah dan kompetisi. Dua alternatif solusi perlu dipertimbangkan guna meningkatkan akses terhadap pendidikan tinggi sambil tetap berjuang mencapai target mutu dan menjaga equilibrium antara layanan pendidikan tinggi sebagai entitas yang nirlaba dan eksploitasi pelaku bisnis dalam sektor pendidikan.

Alternatif pertama adalah memberi dan meningkatkan jumlah beasiswa pemerintah melalui lembaga mandiri. Lembaga kepanjangan tangan pemerintah ini bertugas menseleksi kelayakan calon penerima beasiswa secara jujur dan transparan. Penyaluran beasiswa bisa dilakukan melalui PTN maupun PTS. Namun calon penerima bebas memilih PT mana yang dituju (asal sudah terakreditasi, misalnya). Melalui cara ini, PTN dan PTS diberi kesempatan untuk bersaing secara adil guna meningkatkan mutu dan menjadikan lembaga pilihan mahasiswa.Alternatif kedua melibatkan masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan.

Selama ini beberapa korporasi melalui lembaga filantropis, sudah cukup berperan dalam ikut mencerdaskan bangsa dengan memberi beasiswa bagi mahasiswa di berbagai perguruan tinggi. Kontribusi dari korporasi ini perlu dihargai. Apapun motifnya, kontribusi ini sudah terbukti menciptakan banyak Steve Jobs yang bisa berperan bagi bangsa dan masyarakat.Penghargaan dari pemerintah berupa pemotongan pajak bagi sumbangan filantropis untuk pendidikan setara dengan zakat, akan memicu lembaga lain maupun individu melakukan tindakan serupa.



Artikel 2

Penurunan Anggaran Berdampak pada Pendidikan Tinggi

JAKARTA, KOMPAS.com — Penurunan anggaran pendidikan berdampak besar bagi perguruan tinggi yang selama ini mutu dan daya tampungnya masih sangat terbatas. Terutama berpengaruh pada kegiatan penelitian yang ikut menentukan kualitas perguruan tinggi.

"Pengembangan ilmu dan penelitian yang umumnya dilakukan di lembaga pendidikan tinggi membutuhkan biaya besar. Jika ilmu pengetahuan tidak berkembang, budaya tidak berkembang," kata Direktur Institute of Education Reforms Utomo Dananjaya, Jumat (1/5).

Seperti diwartakan sebelumnya, anggaran pendidikan tahun 2010 ditargetkan senilai Rp 195,636 triliun atau berkurang Rp 11,7 triliun dibandingkan tahun 2009 sebesar Rp 207,413 triliun.

Dengan anggaran Rp 195,636 triliun, anggaran pendidikan 2010 setara dengan 20,6 persen dari total RAPBN 2010. Anggaran pendidikan tahun 2009 sebesar 21 persen dari APBN. Anggaran tahun depan difokuskan untuk pemulihan perekonomian nasional dan pemeliharaan kesejahteraan rakyat.

Utomo mengatakan, sepanjang pemerintah menghindari memberikan anggaran pendidikan memadai, peningkatan mutu dan akses tetap terhambat. Dia berpandangan, kondisi itu bukan karena pemerintah tidak mempunyai dana, melainkan komitmen terhadap pengembangan ilmu dan budaya sangat rendah.

Padahal, tanpa pembangunan pendidikan yang serius, sangat sulit mengejar peradaban yang tinggi. "Paradigma penguasa dan elite politik dalam melihat pendidikan yang mesti diubah," ujarnya.

Ketua Umum Persatuan Guru Republik Indonesia Sulistyo mengatakan, Jumat, sangat prihatin dan menyesalkan adanya kemungkinan penurunan anggaran pendidikan tersebut.

Menteri Pendidikan Nasional berkewajiban meyakinkan agar seluruh departemen mempunyai niat sama untuk membangun sumber daya manusia melalui pendidikan. PGRI sendiri pernah mengajukan uji material terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang belum memenuhi ketentuan anggaran pendidikan 20 persen ke Mahkamah Konstitusi bersama Ikatan Sarjana Pendidikan Indonesia.

"Anggaran pendidikan seharusnya tidak turun, terlebih lagi kebutuhan penggajian dan pendidikan meningkat," ujarnya.

Dia berharap pula anggaran untuk kesejahteraan melalui pemberian tunjangan profesi dan fungsional guru tidak terganggu, apalagi kesejahteraan guru, terutama guru honorer dan tidak, tetap masih jauh dari harapan.


Artikel 3

Perguruan Tinggi Siap Naikkan Biaya


BANDUNG, MINGGU -- Perguruan tinggi ditengarai kian sulit mengejar standar biaya ideal pelayanan pendidikan kepada mahasiswa. Apalagi, di tengah-tengah tingginya laju inflasi dan kenaikan harga bahan bakar minyak. Perguruan tinggi berancang-ancang melakukan penyesuaian biaya kuliah terhadap calon mahasiswa baru.
Di Universitas Padjadjaran, khusus calon mahasiswa baru tahun 2008/2009, akan diberlakukan penyesuaian biaya penyelenggaraan pendidikan (BPP). Penyesuaian terjadi baik pada sistem pembayaran maupun besarannya. Mulai t ahun depan, biaya SPP beserta praktikum akan digabungkan menjadi satu. Termasuk, biaya-biaya tambahan lainnya.
Rektor Universitas Padjadjaran Prof. Ganjar Kurnia, dihubungi Minggu (25/5) mengatakan, besaran biaya BPP itu menjadi rata-rata Rp 2 juta per se mester. Di luar itu, mahasiswa baru juga wajib membayar biaya pengembangan Rp 4 juta yang dikenakan sekali saja. Dijelaskan Ganjar, penyesuaian ini untuk memudahkan sistem administrasi.
Namun, ia mengakui, dibandingkan tahun-tahun sebelumnya, ada kenaikan plafon biaya pendidikan (tuition fee ) yang dibebankan ke calon mahasiswa. Rata-rata naiknya hanya Rp 250 ribu. Khusus untuk mahasiswa baru. Sebagai penyesuaian inflasi, ujarnya. Tahun sebelumnya, biaya kuliah mahasiswa rata-rata sebesar Rp 1, 5juta untu k eksakta dan Rp 1,350 juta untuk non-eksakta. Rinciannya, SPP sebesar Rp 600 ribu dan sisanya untuk praktikum.
Ia membantah, penyesuaian ini dipicu kenaikan harga BBM. Menurutnya, biaya SPP di Unpad terakhir kali naik 5 tahun lalu. "Jadi, wajar jika ada penyesuaian. Dulu, di tingkat fakultas kan, mahasiswa dibebani pungutan untuk kegiatan fakultas. Ke depan, ini tidak ada lagi. Semuanya jadi satu pintu. Biaya ospek (orientasi mahasiswa baru) juga tidak lagi dikenakan," paparnya.
Khusus mahasiswa lama, ucapnya, biaya tetap sama. Khusus jalur khusus (Seleksi Masuk Universitas Padjadjaran), ungkap Ketua SMUP Prof. Ponpon S. Idjradinata, tidak ada penyesuaian tarif. Biaya yang dipersyaratkan dalam seleksi ini tetap sama, yaitu Rp 175 juta untuk Program Kedokteran, Rp 15 juta Rp 16 juta untuk kelompok program eksakta lainnya, dan Rp 10 juta Rp 45 juta untuk kelompok non-eksakta.
Bebaskan SDPA
Penyesuaian biaya sebelumnya juga telah dilakukan Institut Teknologi Bandung. Di kampus ini, Biaya Penyelenggaraan Pendidikan Pokok (BPPP) tahun ajaran 2008 ini menjadi Rp 2,5 juta per semester. Atau, naik Rp 250 ribu dari tahun sebelumnya. Di luar itu, mahasiswa harus membayar biaya tambahan sebesar Rp 200 Rp 1 juta per semester sesuai prestasi akademik dan kemampua n mahasiswa. Namun, sebagai gantinya, di tahun ini pula, ITB membebaskan biaya SDPA (Sumbangan Dana Pengembangan Akademik (SDPA) pada lima program studi khusus, yaitu astronomi, meteorologi, oceanografi, kriya, dan seni rupa.
Sementara itu, Universitas Pendidikan Indonesia memilih untuk tidak menaikkan tuition fee tahun ini. Dijelaskan Koordinator Humas UPI Dutha Andika, biaya SPP UPI tetap sebesar Rp 900 ribu per semester, serupa dengan tiga tahun lalu. "Operasional UPI tidak mengandalkan SPP mahasiswa saja. Kami berupaya tidak ikut-ikutan latah akibat BBM naik," ujarnya. Menurutnya, ketentuan biaya ini sudah diputuskan Rektor.
Namun, sebelumnya, Rektor UPI Prof. Sunaryo Kartadinata memberikan isyarat sulitnya perguruan tinggi menjalankan operasionalisasi pendidikan. Apalagi, pada tahun depan, UPI dibebankan biaya operasional perawatan dan operasionalisasi gedung baru senilai Rp 400 miliar hasil pinjaman APBN dari Islamic Development Bank. Dari target biaya kuliah ( unit cost) ideal yang ditetapkan senilai Rp 18 juta per mahasiswa, UPI saat ini hanya sanggup memenuhi pada kisaran Rp 8 juta.



Artikel 4

Kuliah Lagi, Tak Melulu Demi Sertifikasi


JAKARTA, KOMPAS.com - Raut wajah puluhan perempuan dan lelaki berusia 40 hingga 50-an tahun, yang duduk di bangku kayu berukuran dua orang, tampak serius mendengarkan paparan soal hukum pewarisan Mendel. Suasana hening sesekali pecah saat pengajar memancing peserta dengan pertanyaan-pertanyaan yang terkait materi yang baru dipaparkan.
Meskipun usia tak terbilang muda lagi, puluhan guru yang kuliah atas inisiatif sendiri atau dikuliahkan pemerintah di Kabupaten Biak Nomfur, Papua, itu tetap bersemangat meraih gelar sarjana pendidikan. Selama empat semester atau dua tahun, guru-guru SD yang sudah kenyang dengan asam-manis jadi pendidik di Tanah Papua itu melakoni belajar secara mandiri, lalu beberapa kali tutorial atau kuliah tatap muka di Universitas Terbuka (UT) yang dipusatkan di SDN 1 Biak.
Keterbatasan sarana belajar karena umumnya hanya mengandalkan modul, tidak menghalangi mereka untuk terus belajar. Para tutor yang guru SMA bergelar sarjana pendidikan tetap bisa diandalkan untuk membantu proses itu.
Laban Rumbrapuh (52), Kepala SD YPK Bosnabraidi di Distrik Yawosi, setidaknya tiga kali seminggu menempuh jarak sekitar 60 kilometer untuk menghadiri kelas tutorial atau ujian. Perjalanan dua jam atau lebih itu tidak mudah karena taksi (angkutan umum) tidak selalu tersedia.
Namun, Laban, yang 27 tahun jadi guru, berusaha tidak absen dari jadwal bertatap muka dengan tutor (istilah dosen di UT). ”Pertemuan dengan tutor kan cuma 12 kali per semester. Selebihnya, belajar sendiri dari buku atau kaset atau VCD. Kadang-kadang materi yang sedang dipelajari semakin jelas jika dibahas secara langsung dengan tutor,” ujar Laban yang kuliah dengan beasiswa dari Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Biak.
Menurut Laban, mengingat usianya yang tak lagi muda, cukup sulit untuk bisa kembali ke bangku kuliah. Namun, kesempatan untuk kuliah lagi membuatnya bergairah untuk bisa belajar. ”Katanya untuk bisa ikut sertifikasi. Tetapi, buat saya ini kesempatan untuk meningkatkan diri,” kata Laban.
Elieser Wabiser (45), guru SD YPK Dwar, di Distrik Warsa, mengatakan, keinginan guru di daerah untuk pengembangan diri sangat kuat. Namun, tanpa difasilitasi pemerintah daerah, guru kesulitan untuk bisa terus mengembangkan diri.
”Untuk bisa sekolah S-1 lagi, misalnya, tidak mudah. Selain keuangan yang berat jika membiayai sendiri, di daerah terpencil tidak ada perguruan tinggi kependidikan. Kalau tidak dibukakan jalan oleh pemerintah, ya guru kesulitan. Untuk pelatihan lainnya juga biasanya kalau ada program dari pusat saja. Seringnya guru di kota yang dipilih,” kata Elieser.
Untuk bisa menjalani kuliah di UT yang fleksibel, tetapi guru tidak boleh sampai mengabaikan tugasnya, bukan hal mudah. Elieser terpaksa tidak penuh mengajar demi bisa mendapatkan taksi yang membawanya ke ibu kota. ”Pukul 11 saya sudah selesaikan mengajar supaya bisa ikut tutorial jam dua siang. Nanti, jam mengajar yang kurang diganti hari lain. Siswa belajar sampai sore,” kata Elieser yang 8 tahun jadi guru PNS.
Ada juga guru-guru yang mesti menyeberangi pulau, seperti di Padaido dan Numfor, agar bisa kuliah ke kota. Mereka kadang terhadang cuaca buruk.
”Guru-guru pasti ingin bisa meningkatkan kualitas dirinya supaya bisa menghasilkan anak-anak didik yang lebih baik. Tetapi, kesempatan mendapat pelatihan yang sesuai dengan kebutuhan guru terbatas. Apalagi, di daerah yang jauh dari kota tidak mendapat banyak kesempatan,” kata Aqwila Musen, guru SD YPK Samber, Distrik Yendidori.
Elieser yang membiayai sendiri kuliahnya itu mempertanyakan, ”Setelah guru ramai-ramai dikuliahkan S-1, terus apa? Yang penting itu kan guru terus dibina secara berkelanjutan agar pengetahuannya tidak ketinggalan, terutama guru di daerah pedalaman atau terpencil.”
Tantangan Berat
Yusuf Slamet, Kepala Seksi Pendidikan Dasar Dinas Pendidikan Kabupaten Biak Nomfur, mengatakan tantangan meningkatkan kualifikasi akademik guru di daerah ini cukup berat. Baru sekitar 50 guru dari 3.000 guru SD bergelar sarjana pendidikan. ”Perkuliahan di UT cukup membantu karena penyelenggaraannya bisa disesuaikan keadaan di sini. Kami minta tutorial 12 kali dari pengajuan UT yang cuma delapan kali,” kata Yusuf.
Kondisi guru-guru di daerah yang minim dalam pengembangan diri tersebut sejalan dengan temuan Tim Monitoring dan Evaluasi (Monev) Independen 2008 yang dibentuk Konsorsium Sertifikasi Guru.
”Guru tidak bisa lagi diabaikan. Berbicara sol guru, tidak semata-mata soal peningkatan kesejahteraan. Peningkatan mutu mereka dalam pembelajaran juga sama pentingnya. Kondisi itu bisa dicapai dengan pelatihan yang berkesinambungan dan tanpa henti untuk semua guru, jadi jangan hanya untuk kepentingan sertifikasi. Para guru itu sebenarnya haus menimba ilmu yang terus berkembang,” kata Unifah Rosyidi, Ketua Tim Monev Independen 2008, sekaligus Ketua Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia.
Belajar Mandiri
Di tengah gencarnya pemerintah mewujudkan guru TK - SMA sederajat yang minimal berkualifikasi akademik D-IV/S-1, peran UT yang sejak 1984 bersifat terbuka dan jarak jauh menjadi cukup penting. Perguruan tinggi ini memiliki unit program belajar jarak jauh (UPBJJ) di tiap provinsi dan menyelenggarakan perkuliahan hingga ke kecamatan.
Jumlah mahasiswa aktif di UT per Agustus 2008, 522.960 orang, --sekitar 12 persen jumlah mahasiswa seluruh perguruan tinggi di Indonesia. Sebanyak 90 persen mahasiswa UT adalah guru, terutama guru SD.
M Atwi Suparman, Rektor Universitas Terbuka, mengatakan, belajar di UT harus siap belajar mandiri. Mereka dibekali bahan ajar seperti modul, audio visual, dan VCD yang didesain untuk bisa dipelajari sendiri, tidak bergantung kepada dosen atau tutor.
”Penggunaan internet untuk pembelajaran, registrasi, dan tutorial online sudah bisa diakses. Kendalanya, tidak semua daerah terjangkau internet dan tidak semua mahasiswa mampu menggunakan komputer,” katanya.
Tian Belawati, Pembantu Rektor I Bidang Akademik UT, menjelaskan, pemanfaatan internet sebagai sumber belajar masih rendah, terutama di kalangan mahasiswa yang bekerja sebagai guru. Baru sekitar 6.000 mahasiswa UT memanfaatkan tutorial online.



Artikel 5

Peran Perguruan Tinggi Penting


BANDUNG, RABU - Pemerintah optimistis mampu meraih laju pertumbuhan ekonomi (LPE) tahun 2009 sebesar 5,5 persen kendati berada dalam kondisi krisis global. Dua upaya utama yang dipersiapkan antara lain peningkatan kualitas sumber daya manusia dan penguatan ekonomi domestik.

Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bapenas) Paskah Suzetta menjelaskan realisasi pencapaian LPE nasional sampai akhir tahun lalu berkisar 6,1 persen . Sementara tingkat pengangguran berada pada posisi 15,4 persen.

"Tahun 2009, ditargetkan pertumbuhan ekonomi 5,5 persen agar tingkat pengangguran bisa berkisar 9,3 persen," kata Paskah di Universitas Padjadjaran, Bandung, Kamis (7/1) .

Untuk meraih target tersebut, pemerintah telah merencanakan stimulus penguatan yang telah disesuaikan dengan ketentuan presiden dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) 2004-2009. Stimulus yang akan dilakukan pemerintah, jelas Paskah, yakni penguatan ekonomi domestik dan peningkatan kualitas sumber daya manusia.

Pendidikan tinggi pun menjadi salah satu penentu. Alasannya, dalam konteks daya saing global, peranan pendidikan tinggi sangat penting dalam mendorong percepatan kemajuan bangsa.

Pemerintah sendiri mengambil strategi pengembangan dinamika pengembangan ekonomi global yang digerakan ilmu pengetahuan. Paskah mengatakan, strategi ini menempatkan pendidikan tinggi pada posisi yang strategis.

"Lulusan perguruan tinggi akan menjadi penggerak utama pertumbuhan ekonomi. Inilah yang disebut knowledge driven economic growth," katanya.

Saat ini, pembangunan pendidikan nasional masih belum memadai untuk menghadapi persaingan global. Daya saing masih lemah dibandingkan negara lain. Salah satu indikatornya terlihat dari angka paritisipasi kasar (PT) pada jenjang perguruan tinggi yang pada 2007 hanya berkisar 17,25 persen . Padahal APK Thailand mencapai 42,7 persen, Malaysia 32,5 persen, dan Filipina 28,1 persen .

Mengacu pada World Compteitiveness Report 2007-2008, posisi Indonesia di ASEAN berada pada urutan keempat. Singapura berada di posisi pertama, Malaysia kedua, dan Thailand ketiga.

"Dalam konteks penguasaan iptek, Indonesia tergolong pada kelompok technology adaptor countries. Dengan kata lain baru bisa mengadopsi teknologi dan belum sampai pada tahapan implementasi. Pendidikan kita masih banyak yang masih harus diperbaiki," paparnya.

Paskah menyebutkan, pemerintah telah melakukan komitmen politik untuk memperkuat sektor pendidikan. Salah satunya dengan mengalokasikan 20 persen APBN 2009 untuk kegiatan pendidikan nasional.

Alokasi dana pendidikan pada tahun ini berkisar Rp 207,4 triliun. Dalam konteks pendidikan tinggi, penambahan alokasi pendidikan berfokus kepada peningkatan profesionalitas dan kesejahteraan, serta peningkatan mutu pendidikan dan penelitian untuk memperkuat daya saing bangsa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar