Anak-anak berkebutuhan khusus, salah satunya anak-anak cacat, membutuhkan perhatian dari berbagai pihak. Seluruh lembaga, baik pemerintah maupun non pemerintah, harus ikut memperhatikan keberlangsungan hidup anak-anak tersebut. Pemerintah harus terus memberikan dorongan kepada pihak swasta ataupun perseorangan untuk ambil bagian dalam pembentukan mental anak-anak tersebut menjadi manusia.Demikian disampaikan Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo dalam Peresmian Renovasi Gedung Sekolah Luar Biasa Tunadaksa Yayasan Pembinaan Anak Cacat Jakarta. Acara yang diselenggarakan oleh Yayasan Pembinaan Anak Cacat (YPAC) Jakarta tersebut mengundang Gubernur Fauzi Bowo untuk menandatangani prasasti peresmian bangunan baru sekolah YPAC.Menurut Fauzi, dibutuhkan kerja sama dari berbagai pihak untuk membangun masa depan anak-anak berkebutuhan khusus tersebut. "Pemerintah telah banyak mengeluarkan undang-undang yang mengatur pembinaan anak-anak berkebutuhan khusus. Namun, itu semua akan menjadi sia-sia jika tidak ada kontribusi dari pihak non pemerintah," ujar Fauzi Bowo.Fauzi menyatakan, pihaknya telah menyediakan sejumlah anggaran bagi anak-anak berkebutuhan khusus. Dalam APBD, dana sejumlah Rp 125.000,- diperuntukkan bagi satu orang anak berkebutuhan khusus tiap bulannya. Pemerintah juga menyediakan beasiswa sebesar Rp 600.000,- per anak. "Meskipun demikian, harus diakui bahwa ini tidaklah cukup untuk menyantuni semu anak-anak berkebutuhan khusus yang ada di Jakarta," tambah Fauzi.Sementara itu, Ketua Pembina YPAC Jakarta Muki Reksoprodjo menyatakan, anak-anak berkebutuhan khusus harus bisa memperoleh masa depan yang cerah seperti anak-anak pada umumnya. Menurutnya, dibutuhkan banyak bantuan dan dukungan untuk mencapai tujuan terse but. "Kami berusaha memberi kesempatan kepada pihak lain, baik dari dalam maupun luar negeri, untuk menjadi donatur sebagai upaya menolong anak-anak cacat, khususnya penderita cerebral palsy. Ini penting sebab masa depan anak-anak tersebut cenderung dilupakan dalam masyarakat," ucap Muki.Sejauh ini, lanjut Muki, lembaga non pemerintah yang telah membantu YPAC Jakarta berasal dari perusahaan swasta dan pihak luar negeri. Menurutnya, sebagian perusahaan donatur telah menunjukkan tanggung jawab sosial perusahaan dengan menyisihkan sebagian keuntungan untuk membantu anak-anak YPAC Jakarta. "Pihak internasional yang juga ikut membantu adalah kedutaan besar Jepang. Ini dibuktikan dengan bantuan sebesar 10 juta yen yang diberikan oleh Duta Besar Yutaka Limura tahun 2005," ucap Muki.Saat ini, menurut Muki, pihak Jepang kembali membantu YPAC Jakarta dalam upaya renovasi gedung sekolah luar biasa tersebut. "Duta Besar Jepang dan masyarakat Jepang telah membantu percepatan renovasi gedung sekolah. Kami sangat menghargai usaha yang mence rminkan peningkatan sarana pendidikan warga Jakarta yang berkebutuhan khusus ini," tambah Muki.Dalam kesempatan yang sama, Fauzi Bowo mengemukakan beberapa alternatif untuk membantu anak-anak berkebutuhan khusus. "Pemerintah terus mendukung dan melakukan lobby kepada lembaga non pemerintah. Untuk itu, meski jauh dari lahan usahanya, perusahaan diha rapkan menunjukkan tanggung jawab sosialnya kepada anak-anak berkebutuhan khusus," ucap Fauzi.Alternatif bantuan lain yang dihimbau oleh Fauzi Bowo adalah pengangkatan anak berkebutuhan khusus sebagai anak asuh. Menurutnya, banyak anak berkebutuhan khusus yang berasal dari keluarga tidak mampu. Para donatur diharapkan dapat berperan menjadi orangt ua asuh. "Saya telah menjadi orang pertama yang telah menempuh langkah tersebut. Saya yakin bahwa saya bukanlah satu-satunya orang yang mampu untuk melakukannya," kata Fauzi.
BANDUNG, KAMIS — Lebih dari 36.000 siswa berkebutuhan khusus di Jawa Barat belum mendapat pelayanan pendidikan. Terbatasnya sekolah luar biasa di daerah menjadi salah satu kendala utama. Setidaknya ada 7 kabupaten/kota di Jabar yang hingga saat ini belum memiliki SLB.Gubenur Jawa Barat Ahmad Heryawan mengungkapkan hal itu di sela-sela acara peresmian SLB Negeri B Cicendo Kota Bandung, . SLB saat ini rata-rata baru satu buah di kabupaten/kota. Akibatnya, banyak yang belum terlayani, bahkan jauh dari perhatian. "Padahal, mereka sama-sama anak bangsa dan jadi bagian tidak terpisahkan dalam pendidikan," ucapnya.Untuk itu ia berharap, setidaknya pada 2010 mendatang, seluruh kabupaten/kota di Jabar sudah memiliki SLB. Menurutnya, saat ini setidaknya ada tujuh kabupaten/kota di Jabar yang belum mempunyai SLB. Di dalam sambutannya, ia menegaskan, Pemprov Jabar akan mendukung sepenuhnya pengadaan sekolah-sekolah luar biasa di daerah yang belum terjangkau SLB.Dukungan ini mencakup pembebasan lahan tanah, anggaran dana operasional, hingga tenaga pengajar. "Jika perlu dialih kelola seperti ini (SLBN B Cicendo) ya jangan ragu dilakukan," ucapnya. SLBN B Cicendo adalah SLB khusus tunarungu yang saat ini telah dialih kelola oleh Pemprov Jabar. Dahulu, sekolah ini dikelola oleh swasta dengan nama SLB B Penyelenggaraan Pendidikan dan Pengajaran Anak Tunarungu (P3ATR) Cicendo.Dengan alih kelola ini, diharapkan SLB dapat lebih maksimal melayani anak-anak berkebutuhan khusus. Sebab, manajemen dan anggarannya itu dilakukan langsung oleh pemerintah. "Di sini, sekolah bukan sekadar mendapat dana BOS, tetapi juga bagaimana agar guru-guru lebih profesional dan sarananya lebih bisa ditingkatkan," ucapnya. Total SLB di Jabar saat ini berjumlah 286, di mana 26 di antaranya (10 persen) adalah berstatus negeri.Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Jabar Wachyudin Zarkasyi optimistis, pada 2010 mendatang, setidaknya setiap kabupaten/kota sudah memiliki SLB. Apalagi, mengingat pengelolaan pendidikan luar biasa saat ini berada dalam tanggung jawab pemerintah provinsi. Saat ini, Disdik Jabar setidaknya tengah membangun tiga unit SLB baru di tiga daerah yang belum memiliki SLB yaitu Kota Cimahi, Kota Banjar, dan Kabupaten Cianjur.Guru terbatas Ia mengatakan, dari 48.612 penyandang cacat usia sekolah yang ada di Jabar saat ini, baru 12.423 (25,5 persen) di antaranya yang terlayani pendidikan. Selain sarana dan prasarana, terbatasnya guru yang profesional menjadi kendala pelayanan pendidikan luar biasa. Dari 2.678 guru PLB, baru 889 di antaranya yang berkualifikasi sarjana. Sisanya itu adalah bergelar diploma dan SMA sederajat.Padahal, seperti yang diungkapkan Pejabat Sementara SLBN B Cicendo Priyono, pada prinsipnya, pelayanan di SLB dengan sekolah umum sangat berbeda. Rasio pengajar dan siswa di SLB umumnya lebih kecil daripada sekolah umum. Jadi, kalau di sekolah umum satu kelas bisa 30-40 orang, di SLB itu hanya 5 orang, ucapnya. Konsekuensinya, ini membutuhkan lebih banyak guru.
CISARUA, - Sekolah Luar Biasa Agro Industri milik Yayasan Wyata Guna yang melayani anak berkebutuhan khusus untuk mendapatkan pelatihan bidang pertanian diresmikan di Desa Jambudipa, Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bandung Barat. Diharapkan, para siswa bisa mendapatkan keahlian untuk bisa mandiri dan mencukupi kebutuhan sendiri.
Pendiri Yayasan Wyata Guna Sri Soedarsono menjelaskan, sekolah ini nantinya ditujukan kepada anak berkebutuhan khusus serta anak tidak mampu. Nantinya sekolah ini menjadi sekolah inklusif.
"Ini menjadi percontohan di tingkat nasional karena belum termasuk 17 keahlian yang biasa diajarkan seperti elektronik, tata boga, sampai tata busana," ujar Sri.
Artikel 4
Tiongkok Percepat Pengembangan Pendidikan Khusus
Menurut laporan Kantor Berita Xinhua, kantor Dewan Negara dalam pemberithaunnya baru-baru ini menunjukkan, dewasa ini dan pada masa mendatang, Tiongkok akan mempercepat lebih lanjut pengembangan usaha pendidikan khusus dengan mengambil langkah konkret.
Menurut pemberitahuan tersebut, Tiongkok melaksanakan pendidikan wajib gratis untuk pelajar cacat, meningkatkan pembangunan sekolah pendidikan khusus, menyediakan bantuan dana kepada pelajar cacat pada periode pendidikan menengah dan pendidikan tinggi, meningkatkan alokasi dana, dalam rangka menjamin sekolah pendidikan khusus beroprasi secara normal, memberantas buta huruf orang amgkatan muda yang cacat.
Pemberitahuan menyatakan, keuangan pusat akan terus mendirikan dana bantuan khusus untuk pendidikan khsuus. Pemerintah berbagai tingkat daerah perlu menambah dana bantuan khusus untuk pendidikan khusus, meningkatkan pendidikan sesuai dengan kepribadian mental dan kebutuhan khusus pelajar penyandang cacat, mengembangkan sepenuhnya pendidikan vokasional dan mendorong penempatan tenaga kerja penyandang cacat.
Jakarta, Kompas - Begitu standar isi dan standar kompetensi dikembangkan dalam kurikulum baru kelak, serta-merta terbentang berlapis tantangan di depan para pemangku kepentingan pendidikan. Sesuai tuntutan peningkatan mutu pendidikan, implikasi pengembangan kurikulum tersebut harus dibarengi pemenuhan komponen pendukung yang terstandar pula, mencakup infrastruktur persekolahan, pendidik, hingga proses.
Kalau selama ini jenjang dan satuan pendidikan untuk peserta didik yang normal saja belum semuanya terpenuhi secara terstandar, maka tantangan untuk pendidikan bagi anak-anak yang berkebutuhan khusus jauh lebih kompleks lagi, ujar Fauzia Aswin Hadis, anggota Badan Standar Nasional Pendidikan, di Jakarta.
Fauzia menguraikan, sasaran pendidikan khususselama ini disebut pendidikan luar biasa tak hanya anak-anak cacat, tetapi juga anak-anak jenius atau berpotensi akademik istimewa. Karena itu, perlu perhatian ekstra untuk menanganinya.
Ia menegaskan, langkah awal strategis adalah mengembangkan paradigma baru sesuai UU Sistem Pendidikan Nasional. Terminologi pendidikan luar biasa harus diganti jadi pendidikan khusus. Standar isi, standar kompetensi, dan standar-standar pendukung lainnya pun perlu disesuaikan dengan kondisi peserta didik.
Ia mencontohkan, terhadap anak yang memiliki keterbatasan fisik—seperti kelemahan indera pendengaran, penglihatan, dan kekurangan anggota tubuh— tetap perlu diberi muatan akademis yang memungkinkan mereka berinklusi dengan peserta didik yang normal.
Secara umum, bekal kompetensi anak-anak berkebutuhan khusus perlu diberi muatan kejuruan, agar kelak bisa memiliki kecakapan hidup mandiri tanpa bergantung pada orang lain.
Direktur Pendidikan Luar Biasa Depdiknas Ekodjatmiko Sukarso berkomentar, untuk menuju paradigma baru, implikasi kurikulum di pendidikan khusus tak hanya cukup tertuang dalam standar-standar rumusan BSNP.
Itu semua harus dikuatkan pada rencana strategis Departemen Pendidikan Nasional dalam konteks pemerataan akses-mutu pendidikan serta kemandirian lulusan, ujarnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar