Powered By Blogger

Sabtu, 18 April 2009

Pendidikan Keagamaan

Artikel 1

Pengakuan Kembali Madrasah Sebagai Sekolah Agama Berwawasan Umum


Setelah persoalan madrasah sebagai sekolah umum yang berciri khas selesai secara sistem, maka masih ada persoalan dengan madrasah sebagai sekolah agama yang memberikan porsi utama pengajaran agama ditambah pengetahuan umum sebagai ciri ke Indonesiaan dan kemodernan belum mendapat tempat dalam sistem pendidikan nasional versi UU No. 2 Tahun 1989. "( Hal ini tampak dari data siswa yng ikut ebtan 1994/1995 ternyata murid terbanyak berada di jurusan umum (52,11%) yang mencakup IPS, IPA,dan Budaya. Sedangkan jurusan ilmu agama hanya (47,89%)."

Hal ini masih mengundang perasaan yang ”kurang puas” di kalangan umat, karena masih ada perasaan pemerintah memojokkan madrasah yang berfokus pada pengajaran agama dan dengan tambahan pelajaran umum. Juga masih terdengar pendapat yang menyatakan bahwa madrasah sebagai sekolah umum yang berciri khas Islam itu sebagai upaya ”mendangkalkan agama” bagi umat Islam Indonesia. Tentu prasangka ini tidak beralasan, karena memang peminat untuk memasukkan anak ke madrasah sebagai sekolah umum yang berciri khas Islam jauh lebih besar dibanding dengan yang ingin memasukkan anaknya ke sekolah agama yang pengetahuan agamanya lebih besar dari pengetahuan umum seperti ditunjukkan oleh data bahwa anak-anak yang memilih program pilihan agama jauh lebih kecil (48%) dari yang memilih pilihan IPS atau matematika (52%) . "(yang telah disahkan Presiden pada tanggal 8 Juli 2003 setelah melalui perdebatan panjang di masyarakat dan Dewan Perwakilan Rakyat)"

Perjuangan untuk memasukkan madrasah sebagai sekolah agama (fokus utama pengajaran agama) dalam sistem pendidikan nasional baru berhasil setelah diundangkannya UU Sistem Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003 . Dalam undang-undang ini diakui kehadiran Pendidikan Keagamaan sebagai salah satu jenis pendidikan disamping pendidikan umum, kejuruan, akademik, profesi, vokasi dan khusus (pasal 15). Dalam pendidikan keagamaan ini tidak termasuk lagi madrasah sebagai sekolah umum yang berciri khas Islam. MI, MTs, MA dan MA Kejuruan sudah dimasukkan dalam jenis pendidikan umum dan pendidikan kejuruan. Pendidikan keagamaan ini diatur dalam bagian tersendiri (bagian kesembilan) pasal 30 .
"(yang mengatur:
(1) Pendidikan keagamaan diselenggarakan oleh Pemerintah dan/atau kelompok masyarakat dari pemeluk agama, sesuai dengan peraturan perundang-undangan;
(2) Pendidikan keagamaan berfungsi mempersiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memahami dan mengamalkan nilai-nilai ajaran agamanya dan/atau menjadi ahli ilmu agama;
(3) Pendidikan keagamaan dapat diselenggarakan pada jalur pendidikan formal, nonformal, dan informal;
(4) Pendidikan keagamaan berbentuk pendidikan diniyah, pesantren, pasraman, pabbaja samanera dan bentuk lain yang sejenis;
(5) Ketentuan mengenai pendidikan keagamaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. )



Artikel 2

Anggaran Depag Masih Jauh dari Ideal


SUKADANA (Ant/Lampost): Bupati Lampung Timur H. Satono pada Hari Amal Bakti (HAB) ke-63 Departemen Agama (Depag) di Sukadana, Lampung Timur, Rabu (7-1), mengatakan anggaran pendidikan di departemen tersebut jauh dari ideal.
"Kendati pemerintah terus menerus meningkatkan anggaran pendidikan Depag di luar pendidik dan tenaga pendidikan, tetapi dinilai masih kurang," kata dia.
Ia menyebutkan berdasarkan data dari Departemen Agama, dari tahun ke tahun pemerintah telah berupaya untuk terus meningkatkan anggaran pendidikan di Depag.
Sebagai gambarannya, anggaran pendidikan Depag di luar pendidik dan tenaga pendidikan tahun 2005 sebesar Rp3,284 triliun, dan pada 2009 direncanakan jumlahnya mencapai Rp14,888 triliun.
Menurut dia, peningkatan jumlah anggaran tersebut masih jauh dari jumlah ideal yang diharapkan.
"Dengan anggaran yang terbatas itu, kita harus mampu menyusun prioritas program dan kegiatan yang secara signifikan memberi sumbangan bagi peningkatan mutu pendidikan agama dan keagamaan," ujarnya.
Satono mengharapkan anggaran pendidikan itu harus dimanfaatkan sesuai dengan rencana pembangunan jangka menengah (RPJM) pemerintah dan rencana strategis Depag.
Di tengah-tengah keterbatasan anggaran yang mendera lembaga-lembaga pendidikan agama dan keagamaan, ia menegaskan bahwa kita tidak boleh patah arang atau putus semangat dan bersikap apatis, tetapi kita harus tetap yakin dan bekerja keras untuk mendayagunakan segala potensi yang ada.
"Anggaran yang terbatas justru harus menjadi tantangan agar kita lebih cerdas dan inovatif menentukan pilihan program dan kegiatan yang tepat sasaran," kata Satono pula.
Terkait peringatan HAB tersebut, Kantor Depag Lamtim sebelumnya telah menyelenggarakan berbagai macam perlombaan yang bertujuan untuk memupuk silaturahmi dan mempererat tali persaudaraan.
Adapun lomba yang diselenggarakan adalah tenis meja, bola voli, catur, tarik tambang, dan bulu tangkis yang diikuti para pegawai dinas terkait.
Pada kesempatan itu, panitia juga mengadakan lomba nasi tumpeng dan makanan nonberas seperti nasi oyek, tiwul, dan nasi jagung yang diikuti oleh para guru MAN, MIN, dan MTs.
Hadir pada acara tersebut para guru agama se-Lamtim, juga tampak hadir pada saat itu petugas pencatat nikah (PPN), Dharma Wanita, dan para pejabat Kandepag Lamtim. n S-1



Artikel 3

Tingkatkan Kualitas Pendidikan, Tantangan Depag


Apa tantangan Departemen Agama (Depag) saat usia lembaga ini 63 tahun? Ke depan, tantangan yang menghadang adalah meningkatkan kualitas pendidikan agama dan keagamaan. Sebagai tindaklanjut Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), secara khusus pemerintah telah menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Keagamaan.
Hal itu dikatakan Menteri Agama, Muhammad M Basyuni, saat upacara peringatan Hari Amal Bakti ke-63 Depag di lapangan Merdeka, Jumat (3/1), yang dibacakan Wakil Wali Kota Bima, HM Qurais.
Peraturan itu berfungsi sebagai payung hukum terhadap penyelenggaraan pendidikan agama dan pendidikan keagamaan. “Untuk itu, kita harus menyiapkan berbagai peraturan operasional yang bersifat teknis untuk mengimplementasikan kebijakan tersebut,” katanya.
Dikatakannya, meski dari segi payung hukum sudah memadai, namun usaha peningkatan mutu pendidikan agama belum optimal. Direktorat Jenderal Pendidikan Islam saat ini membina hampir 18.759 Rhaudatul, 40.258 Madrasah, 539 Perguruan Tinggi Agama, dan 17.606 pondok pesantren.
Jumlah tersebut, ujarnya, belum termasuk lembaga pendidikan agama dan keagamaan nonformal. Lembaga-lembaga pendidikan keagamaan stelah memberi kontribusi lebih dari 20 persen dari total peserta didik di Indonesia.
Dikatakannya, permasalahan pokok lembaga pendidikan agama dan keagamaan adalah rendahnya mutu tenaga pengajar, keterbatasan sarana dan prasarana, lemahnya manajemen, keterbatasan dana operasional dan dana pengembangan. Pemerintah terus berupaya meningkatkan anggaran pendidikan di Depag setiap tahun.
Pada tahun 2005, anggaran pendidikan Depag diluar gaji sebesar Rp3,2 triliun. Pada tahun 2009 ini direncanakan menjadi Rp14,8 triliun. Namun, masih dianggapnya jumlah itu jauh dari ideal. “Dengan anggaran terbatas itu, kita harus menyusun program prioritas dan kegiatan secara signifikan untuk peningkatan mutu pendidikan,” ujarnya.
Untuk mendukung berbagai upaya peningkatan mutu pendidikan agama dan keagamaan, Depag telah mencanangkan tiga pilar kebijakan. Yakni mengejar ketertinggalan mutu pendidikan, meningkatkan perhatian dan keberpihakan terhadap pelayanan pendidikan bagi komunitas yang kurang mampu, serta perlakuan yang sama terhadap lembaga pendidikan negeri dan swasta.
Upaya yang telah dilakukan Depag, katanya, meningkatkan profesionalisme guru, dosen, dan tenaga pendidikan lainnya. Rehabilitasi sarana dan prasarana lembaga pendidikan tingkat dasar dan menengah. Perluasan akses pendidikan, peningkatan kualitas sarana pembelajaran, pengembangan madrasah bertaraf internasional. Disamping itu, pengembangan mutu pendidikan tinggi agama, penyediaan beasiswa bagi siswa, mahasiswa, guru, dan dosen.
Usai upacara, Kepala Depag Kota Bima, Drs H Mansyur Ahmad, menyerahkan hadiah pada sejumlah madrasah yang telah memenangkan lomba memeriahkan Hari Amal Bakti Depag tingkat Kota Bima. Tampil sebagai juara umum adalah MAN 2 Kota Bima.



Artikel 4
Menanamkan Pendidikan Perilaku Melalui Kegiatan Keagamaan



Bagi hampir semua bangsa Indonesia, menanamkan pendidikan keagamaan kepada anak-anak itu dinilai sangat penting. Karena, kita yakin bahwa pendidikan keagamaan itu bisa menjadi faktor penting dalam membentuk moral atau juga sebagai benteng moral.
Tapi, kita terkadang hanya mewajibkan pelaksanaan rutinitas ajaran agama melalui disiplin atau cukup mengajak anak merayakan seremonial belaka, sehingga nilai-nilai pendidikannya tidak sampai. Padahal, tujuan dari rutinitas atau seremonial keagamaan itu adalah membentuk prilaku sehari-hari. Bagaimana caranya menanamkan nilai keagamaan dari kegiatan rutinitas atau seremonial itu sehingga dapat diharapkan efeknya bagi prilaku anak? Kalau melihat temuan Philip. L. Rice (1990) tentang bagaimana sebaiknya disiplin itu kita tanamkan, nampaknya ada beberapa hal yang penting kita sadari. Ini antara lain:
1.Disiplin itu akan lebih efektif apabila diterapkan karena cinta, peduli, atau dalam suasana yang saling menghormati. Kita menyuruh anak shalat setelah kita memahamkan bahwa shalat itu baik untuk dia—bukan karena tekanan / paksaan
2.Disiplin itu akan lebih efektif apabila saatnya tepat. Kita memahamkan pentingnya bersilaturahmi atau berbagi saat lebaran atau natalan.
3.Disiplin itu akan lebih efektif apabila ditanamkan secara konsisten dan akan lebih bagus didukung alat peraga. Kita mendisiplinkan anak supaya berdoa sebelum makan atau pergi secara konsisten
4.Disiplin itu akan lebih efektif apabila tidak terlalu kaku. Anak akan berpikir tak mungkin menyenangkan hati orangtuanya apabila semua prilakunya dikomentari atau dikritik.
5.Disiplin itu akan lebih efektif apabila metodenya disesuaikan dengan perkembangan anak. Anak yang sudah sampai level pemahaman tertentu mungkin sudah tidak butuh diberi pemahaman dengan cara yang sama.
6.Disiplin itu akan lebih efektif apabila metodenya tidak selalu menggunakan ancaman. Sekali-dua kali ini efektif mengubah prilaku, tapi kurang baik bagi keamanan emosinya.
7.Disiplin itu akan lebih efektif apabila tidak selalu menggunakan hukuman, lebih-lebih itu kurang beralasan atau tidak seimbang dengan reward yang kita berikan. Entah secara terang-terangan atau diam-diam, ini memancing penolakan dan perlawanan.
Kapan sebaiknya cara-cara di atas mulai kita terapkan? Anak yang sudah masuk SD atau yang sudah bisa mencerna nilai-nilai abstrak, pada dasarnya sudah bisa diterapkan cara di atas. Hanya memang konsistensi mereka dalam membiasakan disiplin itu masih belum kuat. Karena itu, kepedulian orangtua sangat membantu. Intinya, kita perlu memfasilitasi anak-anak agar bisa mencerna nilai pendidikan prilaku di balik ibadah yang sudah kita disiplinkan sehari-hari. Ini supaya tidak menjadi sekedar kegiatan rutinitas atau seremonial belaka. Semoga bisa kita jalankan.



Artikel 5

Peran Pendidikan Agama

Dalam dunia pendidikan tentunya kita akan berbenturan antara konsep (idealisme) dengan fakta di lapangan. Adanya ketidaksesuaian antara materi kurikulum Agama dengan tingkat pemahaman dan pembiasaan anak didik terutama di tingkat sekolah dasar adalah merupakan fenomena kemunduran sekolah saat ini. perilaku-perilaku yang nonagamis dan nonakhlakulkarimah di berbagi sekolah dasar merupakan bentuk kurangberhasilnya konsep dan strategi pembelajaran pendidikan agama di tingkat sekolah dasar. Kuantitas Pelajaran gama yang sangat minim, muatan materi yang banyak dan metode yang tidak variatif akan mengakibatkan kejenuhan dan degradasi ilmu dalam diri anak didik . Dampak dari ketidaksesuaian nilai-nilai normatif kependidikan dengan strategi pembelajaran menimbulkan misorientasi guru yang lebih mengutamakan ketuntasan materi dan penyelesaian silabus dan RPP, sementara anak didik cenderung kepada pemuasan skor nilai di Rapot.

. Pendidikan di sekolah yang berbasis agama, seperti madrasah ibtidaiyyah atau madrasah tsanawiyah menjadi polemik manakala agama yang memiliki jam pelajaran yang sangat banyak dan melelahkan untuk dihafal bagi anak membuat anak menjadi tidak kapabel dalam satu disiplin ilmu.

Tidak ada pengaruhnya yang signiikan antara idealisme guru agama dengan hasil yang diperoleh oleh anak didiknya merupakan sebuah tantangan yang harus segera dicari solusinya. Mungkin makalah ini tidak berarti apa-apa manakala kita tidak pernah peduli tentang nasib aset bangsa yang merupakan tonggak dasar pembiasaan dan pengetahuan untuk masa depan.

Oleh sebab itu, perlu kita duduk bersama untuk memikirkan beberapa posisi yang harus diambil untuk kesuksesan bersama, antara lain:

a. Konsep Kurikulum Akidah perlu diperbanyak, mengingat dasar akidah adalah sesuatu yang sangat penting untuk anak. Konsep akidah berdasar kepada al Quran dan al Hadits. bisa kita kembangkan tentang cerita Luqman dalam al Quran dan beberapa prilaku Shahabat Nabi Muhammad SAW dalam mempertahankan akidah.

b. Strategi pembelajaran agama tidak lagi mementingkan tentang konsep hafalan-hafalan yang sangat banyak, makna yang terkandung dalam materi tidak dijelaskan kepada anak. Contoh ketika anak belajar shala, maka setiap anak harus memahami hakekat shalat itu untuk apa

c. Pembiaasaan yang sangat penting menjadi penilaian bagi anak didik dengan memberikan pengontrolan ibadah harian di rumah yang diawasi oleh orang tua. Karena pendidikan agama di sekolah yang sangat pendek membutuhkan pengulangan dan pembiasaan di rumah. Pembiasaan ini menjadi salah satu nilai yang dapat dijadikan nilai psikomotor bagi anak dihitung dengan nilai konsep ( Penguasaan materi)

d. Pendidikan agama yang holistik dan komprehensif merupakan bahan ajar yang sangat dibutuhkan untuk sekarang ini. Pendidikan agama tidak bisa dipisahkan keterkaitan dengan ilmu lain. Guru harus mampu membuat keterkaitan makna yang ada dalam bahan ajar dengan penerapan teknologi yang bisa diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari.

Guru yang menjadi panutan merupakan subjek pembelajaran yang tidak bisa dinilai secara tulisan, tapi dia merupakan sumber belajar demonstratif bagi anak didik. Guru yang menjadi Hardmatter yang divisualisasikan merupakan pendidikan pembiasaan yang sangat efektif bagi anak didik. Usia Sekolah Dasar yang termasuk pencarian panutan pertama untuk mereka, maka guru adalah sosok yang sangat ditiru dalam tingkah laku di kelas, di sekolah maupun di masyarakat.

tentunya ada konsep yang sudah lama dikembangkan menjadi guru efektif, guru visioner dan guru kompeten, tentunya dalam pendidikan agama, semua guru agama harus menjadi seorang yang memiliki naluri kharismatik. Nilai-nilai kharismatik dari guru terhadap anak didik akan membawa kepada keberhasilan pendidikan agama di sekolah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar